*bersihin blog yang debuan 😅 gara-gara lama nggak nulis
Lamaaa bangeeeet nggak nulis blog. Terakhir nulis tahun 2020 pas masa awal-awal pandemi. Tahun 2021 blaaaas nggak nulis apa-apa. Huhuhu saya sebenernya kangen banget nulis blog. Tapi apa daya beneran nggak sempat nulis. Ahh ibu banyak alesan. Bilang aja kurang niat wwkwkwk
Begitu banyak hal yang terjadi di 2021 dan 2022. Ada seneng dan sedih, semuanya bikin naik turun emosi. Makanya postingan ini dikasih judul roller coaster hidup. Karena emang beneran di 2 tahun belakangan ini kerasa banget naik turun macem roller coaster. Ada banyak hal di 2 tahun ini yang membuat saya merasa senang, sedih, marah, capek, suprised, kecewa, takut dan beragam emosi lain yang mungkin saya aja sulit rasanya untuk mendefinisikan itu apa. Benar-benar ketahanan mental saya diuji. Pun saya sampai minta bantuan psikolog karena sudah tidak sanggup mendefinisikan apa yang saya alami dan sudah mengganggu kehidupan sehari-hari saya.
Saya mengalami hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang mungkin dulunya hanya tahu karena baca thread di Twitter atau denger cerita orang. Lalu hal itu terjadi pada saya dan keluarga saya. Benar-benar menjadi orang dewasa itu cukup melelahkan sampai menghadapi hal yang seperti ini. Namun kejadian demi kejadian menyadarkan saya bahwa ini memang takdir yang Allah SWT berikan kepada saya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, apakah akan protes dan terus mengeluh atau menerima dan mengambil hikmah dari setiap kejadian.
Everyone has their own battle
Sebenernya quotes ini udah sering seliweran dimana-mana. Tapi rasa-rasanya dulu biasa aja. Sekarang saya baru ngerti nih maksudnya apa. Setiap orang pasti punya masalah sendiri, punya perjuangan sendiri yang tidak semua orang tahu. Bahkan semua orang tidak ada yang tahu kecuali dirinya sendiri dan Allah Yang Maha Mengetahui. Orang yang mungkin selama ini senyam senyum bahagia di depanmu, bisa saja dalam hatinya menyimpan luka yang dalam. Setiap orang punya jalan yang beda, punya masalah yang beda, punya latar belakang yang beda. Jadi kuncinya saling menghargai aja.
Bahagia itu sebuah momen
Bahagia itu hanya sebuah momen perasaan aja. Sejam yang lalu merasa bahagia, eh 3 jam kemudian merasa sedih. Ya kan?? Nggak selamanya sedih itu ya bakalan sediiih terus. Nggak selamanya juga bahagia bakal bahagia teruuus. Nothing lasts forever. Jadi kalo sekarang lagi sedih nggak perlu overthinking sampai besok-besok bakalan sedih terus. Dan bahagia itu diciptakan oleh diri kita sendiri, bukan lingkungan atau orang lain. Murni banget atas kendali diri kita. Ibarat dikasih hidup enak, duit unlimited juga tetep nggak bahagia kalo yang dipikirin negatif terus.
Datang ke dunia sendiri, pulang juga sendiri
Kita lahir ke dunia sendirian, ketika kita meninggal juga akan sendirian. Tidak ada teman yang abadi kecuali amal ibadah kita sendiri. Saya pernah membaca hasil penelitian, lupa entah punya siapa. Yang pada intinya semakin bertambah umur maka interaksi kita dengan orang lain akan berkurang. Di usia produktif banyak waktu yang dihabiskan bersama orang lain (pasangan, keluarga, teman), sedikit waktu untuk sendiri. Tapi ketika masuk ke masa tua, akan semakin banyak waktu sendiri. Makanya penting banget untuk mengenali diri sendiri. Jangan sampai kita nggak kenal siapa diri kita sehingga ketika sendirian jadi bingung, sedih, takut, bete dan perasaan negatif yang lain. Minimal kenali apa yang dibutuhkan, apa yang disukai, apa yang tidak disukai. Jadi ketika kita sendiri kita bisa tetap "hidup". Perlu diingat bahwa pasangan, keluarga dan teman itu tidak ada yang abadi. Maka perbanyak bekal untuk menjalani kehidupan yang abadi. Auto keinget diri sendiri yang bekal akhiratnya masih sedikit ðŸ˜
Memikirkan diri sendiri itu tidak apa-apa
Akhir-akhir ini saya jarang punya waktu untuk memikirkan diri sendiri karena sebagian besar waktu saya digunakan untuk memikirkan kepentingan orang lain. Dulu saya berpikir bahwa kepentingan orang lain seperti keluarga dan pekerjaan lebih penting dari diri saya sendiri. Karena saya merasa bertanggungjawab di peran yang saya jalankan baik itu sebagai istri, ibu, anak dan pekerja. Pada akhirnya saya lupa untuk memikirkan saya sendiri sebagai individu. Saya capek banget dan kewalahan sampai konsul ke psikolog. Setelah konsul dengan psikolog saya perlahan mulai menata kembali diri saya. Bertanggungjawab itu baik tapi tetep harus lihat konteks. Apakah memang cuma saya yang harus bertanggungjawab? Apakah ada oranglain yang juga seharusnya bertanggungjawab? Sampai di sini saya sadar bahwa tidak semua hal harus menjadi tanggungjawab saya. Saya memprioritaskan apa yang benar-benar menjadi tanggungjawab utama saya. Pelan-pelan usaha biar nggak overthinking lagi. Karena memang butuh belajar untuk tidak overthinking. Memberikan waktu untuk diri sendiri untuk kesehatan jiwa raga. Karena kesehatan mental ini ngaruh banget di kesehatan fisik. Kalo saya sampe sakit, saya yang rugi sendiri.
Memberi jarak pada masalah
Masih berkaitan dengan poin sebelumnya. Salah satu cara biar nggak overthinking adalah memberi jarak pada masalah. Berhubung masalah saya kok kayaknya banyak, saya harus milih mana yang harus dipikirin dulu. Hahahaha kalo dipikirin bareng bisa meledak. Dulu saya ketika dapet masalah akan dipikirin banget. Tapi di situ jadi ngerasa hal-hal lain di kehidupan saya jadi terganggu. Ada kalanya itu masalah dipikirin, tapi ada kalanya juga nggak perlu dipikirin. Prakteknya sesimpel tidak mengangkat telpon ketika memang sedang tidak siap menjawab telpon. Tidak membalas chat jika memang belum punya jawaban yang tepat. Saya sampai punya trauma sama telpon dan chat. Gara-gara terlalu sering masalah datang via telpon dan chat. Memberi jarak ini penting banget biar kita nggak terlalu larut dalam masalah yang bisa ngaruh di kesehatan fisik dan mental. Dan juga ngaruh ke orang-orang terdekat seperti pasangan dan anak. Suami dan anak jadi kena omel terus padahal mereka nggak salah apa-apa.
Penderitaan orang lain tidak harus menjadi penderitaan kita
Seringkali saya merasa ketika orang terdekat mengalami musibah atau penderitaan, maka saya juga kudu ikutan menderita. Padahal kan nggak harus ya. Kita cukup memberikan empati aja sih. Lalu ya tidak harus ikut merasa menderita juga. Atau merasa harus menghilangkan deritanya dan membuatnya bahagia. Tidak harus. Kebahagiaan seseorang itu tanggungjawabnya dia sendiri. Bukan tanggungjawab oranglain. Begitu juga dengan penderitaan. Tapi kadang hal ini dianggap sebagai hal yang egois oleh society tertentu. Terlalu banyak tuntutan dari society "kamu harus membahagiakan orangtua, blablabla". Kalo saya sih tep luweh wae lah.
Berbakti tanpa tapi
Urusan berbakti sama orangtua ini jadi salah satu hal yang utama sebagai muslim. Dalam prakteknya cukup berat. Ya kalo nggak berat sih nggak bakalan dikasih ganjaran surga yak wkwkwk. Mengingat kita manusia, orangtua juga manusia yang sama-sama banyak salah dan dosa. Mau kaya gimanapun orangtua, kita wajib berbuat baik. Kalo mereka berbuat salah, diingatkan. Kalo mengajak ke hal yang nggak baik, nggak usah diikutin. Tapi prakteknya nggak semudah itu fergusso. Perbedaan pola pikir dengan orangtua seringkali jadi penghalang. Intinya berbuat baik aja udah, melaksanakan kewajiban sebagai anak (nanyain kabar, menjenguk, merawat kalo sakit, dll).
*
Saya sangat bersyukur bisa bertahan sejauh ini. Terimakasih untuk diri saya sendiri yang sudah kuat dan baqoooh menghadapi segala macam cobaan selama 2 tahun terakhir. Semoga Allah SWT selalu memampukan dan menguatkan saya. Tiada pertolongan melainkan Dia.
-nuki-