source here
Menginjak usia mba Alma yang udah 15 bulan, mulai deh muncul pertanyaan-pertanyaan khas orang Indonesia yang sukanya intervensi urusan hidup orang lain. Hiiishh...
"Wis gek ndang diadeni wae, ben sisan le repot."
"Ayo kapan mau nambah lagi? Mumpung masih muda loh."
Eaaakkk...penakke diapakke iki yaakk?? Rasane pengen tak kon mbayari daycare karo imunisasi. Hahahaha
Postingan ini mungkin akan panjang. Dan mungkin juga ada pro dan kontra. Monggo silahkan bebas berpendapat. Asal ora padu wae. Hahaha
Bagi saya punya anak itu amanah dan tanggung jawab yang besar. Jadi nggak bisa seenaknya usul suruh nambah anak. Emang lo siapa?? Cihhhh
Karena anak itu amanah dan tanggung jawab yang besar maka semuanya harus direncanakan. Iya, direncanakan. Semua butuh rencana, semua butuh persiapan. Tidak semua orang yang menikah itu siap punya anak. Catet. Siap dari segi apapun, dari segi finansial, kesehatan maupun psikologis.
Ketika saya menikah, kami menunda untuk punya anak dulu. Kenapa?? Karena kondisi kami yang belum memungkinkan. Saya LDR-an sama suami. Saya di Jogja sama mertua, suami di Bandung. Saya nggak sanggup kalo lagi hamil jauh-jauhan. Intinya kami mementingkan kondisi psikologis masing-masing. Karena kondisi psikologis saat hamil itu juga berpengaruh sama bayi yang dikandung. Belum lagi kalo nanti anaknya lahir dan harus berjauhan sama bapaknya. Kami tidak bisa. Kami ingin anak kami nanti dibesarkan dengan keluarga yang utuh, ada ibu dan bapaknya.
Mungkin ada orang yang mikir, alaaah mau punya anak aja ribet amat. Manjaa banget sih jauhan sama suami aja nggak bisa. Manjaa bangeet ngurus anak sendiri nggak mau. Ok fine, judge me whataver you want.
Ya, mungkin ada orang yang sanggup hamil tapi suaminya jauh. Ada keluarga yang sanggup jauh-jauhan. Itu orang lain ya, bukan saya dan suami. Nggak bisa dong memaksakan itu pada keluarga saya. Tiap keluarga kan punya prinsip yang beda-beda.
Kami merencanakan punya anak ketika suami udah pindah kerja ke Jogja. Sebelumnya saya sempatkan screening TORCH dulu untuk memastikan kondisi kesehatan saya aman untuk hamil. Ini penting sekali mengingat sekarang banyak kasus TORCH pada saat hamil yang berakibat gangguan kesehatan bawaan pada bayi. Bagi saya ini juga sebuah tanggung jawab dan ikhtiar agar anak yang dilahirkan sehat dan selamat.
Itu baru persiapan sebelum hamil loh ya. Ketika hamil banyak sekali yang harus disiapkan, dipelajari dan dipraktekkan. Utamanya mempersiapkan diri menghadapi kelahiran bayi. Kan yo wagu nek anake wis lahir njuk ora ngerti kudu ngopo. Anake nangis bingung, malah melu nangis. Piye jal?
Bagi saya, punya anak itu nggak main-main. Itu amanah, itu tanggung jawab. Bukan hanya sekedar memenuhi tanggung jawab finansial saja, tapi yang lebih penting adalah mendidik dan memberikan kasih sayang. Lebih pada kualitas, bukan kuantitas. Saya nggak mau punya anak banyak tapi nggak kopen alias nggak keurus. Lebih baik anak sedikit tapi anak happy, sukses dan berkualitas. Semua tergantung kemampuan masing-masing. Ada looh yang anak banyak tapi sukses semua, berkualitas semua, dekat sama orangtua semua. Itu sungguh LUAR BIASA!!! Saluut banget saya. Tapi kembali lagi pada kemampuan masing-masing. Sebelum memutuskan punya anak (lagi), tanyakan pada diri sendiri: sanggupkah memberikan perhatian dan kasih sayang yang sama pada setiap anak? sanggupkah membagi waktu untuk suami, anak dan pekerjaan? sanggupkah memberikan pendidikan yang baik untuk anak?
Nah, kalo kira-kira kemampuan diri cethek mah yaaa ngaca dulu lah. Punya anak satu aja udah ngeluh sana-sini. Gimana mau punya anak lima?? Sekali lagi, ukur kemampuan diri dan suami. Jangan sampe ada anak yang nggak kopen alias nggak keurus. Njuk dititipke sana-sini. Kasian anaknya. Dan jangan lupa tanggung jawab kita sebagai orangtua akan dipertanyakan di akhirat nanti.
Sekali lagi, anak itu amanah dari Allah. Setiap anak yang lahir punya hak yang sama, punya hak untuk bahagia. Tidak peduli dia anak ke berapa, entah anak pertama atau anak kelima.
Baca juga: Saatnya Orangtua Berevolusi
Baca juga: Saatnya Orangtua Berevolusi
Saya memang punya rencana untuk punya anak lagi, tapi bukan sekarang. Jujur sekarang saya belum siap, belum sanggup. Kasian mba Alma, dia masih butuh banyak perhatian dan kasih sayang. Kami juga harus mempertimbangkan kondisi psikologis mba Alma. Kalo ada keluarga lain yang sanggup punya anak dengan jarak deket dan memastikan mereka bahagia, itu hebat sekali. Tapi sayangnya kami merasa belum sanggup.
Teteeep yaaa pengennya semua direncanakan. Itu lah kenapa family planning itu penting.
Teteeep yaaa pengennya semua direncanakan. Itu lah kenapa family planning itu penting.
Sebelum kami menikah, kami sudah mendiskusikan tentang family planning. Itu salah satu point penting yang perlu didiskusikan sebelum menikah. Agar satu bahasa dan pandangan dulu. Kalo ternyata nggak satu pandangan, jangan jadi nikah dulu deh. Hahahaha...
Ya kan repot kalo udah nikah ternyata suami maunya punya anak enam, tapi ternyata istri maunya dua aja. Istri maunya KB, tapi suami nggak mau KB. Duhh ribeet...
Baca juga: Menikah Itu...
Family planning ini harus satu pandangan dan satu bahasa antar pasangan. Banyak loh kejadian kaya gitu. Suami melarang istrinya buat KB, padahal istrinya udah capek punya anak terus. Ada lagi yang keluarga besarnya ikut campur urusan family planning. Sama ibunya disuruh KB, tapi ibu mertuanya nyuruh nggak boleh KB, simbahnya ikut-ikutan. Hiiishhh pusiiing. Entahlah kenapa budaya ngurusin hidup orang lain itu eksis banget di sini. Family planning itu mutlak urusan suami istri. Titik.
Apalagi dalam budaya di sini urusan family planning begini kebanyakan pihak perempuan yang disalahin. Lama belum punya anak disalahin, anak jaraknya terlalu deket disalahin juga, KB juga masih disalahin. Duuuhh capeek banget.
Apalagi dalam budaya di sini urusan family planning begini kebanyakan pihak perempuan yang disalahin. Lama belum punya anak disalahin, anak jaraknya terlalu deket disalahin juga, KB juga masih disalahin. Duuuhh capeek banget.
Ada banyak metode family planning. Ini bisa jadi satu postingan sendiri. Wkwkwk kapan-kapan lah saya tulis. Ada yang pake metode alami, ada juga yang pake alat ataupun obat. Tergantung dari kenyamanan masing-masing pasangan. Perlu diingat yaa pemilihan metode family planning itu kesepakatan dari suami istri. Bukan dari satu pihak aja. Dan di sini lagi-lagi isu gender, seolah-olah yang harus KB itu perempuan. Di posyandu pun yang ditanya selalu ibu-ibu. "sampun KB dereng bu?"
Kenapa laki-laki nggak ditanyain sih? Padahal mereka kan juga berperan dalam family planning.
Saya sangat mengapresiasi para suami yang ikut serta ber-KB dengan senang hati. Karena banyak laki-laki yang nggak mau KB dengan alasan mengurangi 'kenikmatan'. Maybe the problem is on your technique. You have to explore more. LOL.
Saya sangat mengapresiasi para suami yang ikut serta ber-KB dengan senang hati. Karena banyak laki-laki yang nggak mau KB dengan alasan mengurangi 'kenikmatan'. Maybe the problem is on your technique. You have to explore more. LOL.
Manusia berencana, Allah yang menentukan. Ada yang udah lama merindukan anak. Udah program hamil sana sini tapi ternyata Allah belum menghendaki. Ada yang pengennya uda stop punya anak karena merasa sudah cukup. Pun sudah ber-KB. Tapi ternyata Allah masih mempercayai memberi tambahan amanah anak lagi.
Kalo udah kaya gitu manusia bisa apa?? Nggak bisa apa-apa kecuali menerima dengan pikiran terbuka. Tapi yang terpenting kita sudah berusaha dan berikhtiar. Hasil akhir kita serahkan pada Yang Maha Menentukan.
Yang belum punya anak ataupun yang punya anak banyak, itu semua ujian.
Sotoooy banget deh saya, ngomong doang sih gampang. Yakin deh yang menjalani nggak semudah ngomong. Hahahaha
Buat mamak-mamak muda anak satu macem saya ini biasanya sih penginnya nunda dulu punya anak kedua. Nunggu dulu lah anak pertama agak gedean. Tapi yaa namanya rencana manusia, beberapa ada yang 'kebobolan'. Terus kalo udah gini gimana? Ya nggak papa alhamdulillah dikasih rejeki. Lhaaaa ini sotoy lagi saya, gampang banget ya emang ngomong itu. Hahaha
Perlu diingat sekali lagi. Setiap bayi yang lahir itu punya hak dan kesempatan yang sama untuk hidup bahagia, tidak peduli apakah dia hasil dari planned pregnancy ataupun unplanned pregnancy. Jadi ketika muncul dua garis di testpack, saat itu juga orangtua sudah bertanggungjawab untuk mengusahakan yang terbaik.Walaupun untuk mencapai tahap ini tidak mudah. Kadang harus pake galau-galauan dan air mata dulu. Terutama kalo mengingat anak sebelumnya yang masih kecil.
Saya punya satu cerita dari murid les saya dulu. Sebut saja namanya Ani ya. hehehe
Ani salah satu contoh anak hasil unplanned pregnancy. Ibunya kebobolan setelah lahiran anak kedua. Waktu itu Ani kelas 6 SD dan kakaknya persis itu kelas 1 SMP. Kakaknya yang sulung udah kuliah. Ibunya denial, nggak terima kalo kesundulan. Ndilalah kakaknya Ani persis itu anaknya sakit-sakitan. Seolah-olah ibunya nyalahin Ani, gara-gara Ani lahir kakaknya jadi sakit-sakitan. Ini saya diceritain sama neneknya Ani. Jadi selama ini Ani dirawat dan tinggal sama neneknya, sedangkan ayah ibu dan kakak-kakaknya tinggal di rumah yang lain. Entahlah apa dia pernah merasakan dekapan ibunya atau nggak. Sedih banget T____T
Bahkan neneknya sampe bilang gini ke saya, "Pandongane nggih mbak mugi-mugi kulo panjang umur, paling mboten ngantos Ani saged mandiri. Nek mboten wonten kulo pripun mangke Ani (Doakan ya mbak semoga saya panjang umur, paling nggak sampe Ani bisa mandiri. Kalo nggak ada saya nanti Ani gimana)". Neneknya bilang dengan mata berkaca-kaca, hampir nangis.
Sedih bangeeet. Ini keluarga Ani tergolong keluarga yang berkecukupan loh. Nggak ada masalah materi. Ani jadi anak pendiem, nggak pedean, ngomong aja pelan banget. Kasian bener kasian banget. Secara materi dia tercukupi, tapi dia nggak dapet kasih sayang dari orangtuanya.
Jangan sampe ada Ani-Ani yang lain ya buuuk....
Kalo udah kaya gitu manusia bisa apa?? Nggak bisa apa-apa kecuali menerima dengan pikiran terbuka. Tapi yang terpenting kita sudah berusaha dan berikhtiar. Hasil akhir kita serahkan pada Yang Maha Menentukan.
Yang belum punya anak ataupun yang punya anak banyak, itu semua ujian.
Sotoooy banget deh saya, ngomong doang sih gampang. Yakin deh yang menjalani nggak semudah ngomong. Hahahaha
Buat mamak-mamak muda anak satu macem saya ini biasanya sih penginnya nunda dulu punya anak kedua. Nunggu dulu lah anak pertama agak gedean. Tapi yaa namanya rencana manusia, beberapa ada yang 'kebobolan'. Terus kalo udah gini gimana? Ya nggak papa alhamdulillah dikasih rejeki. Lhaaaa ini sotoy lagi saya, gampang banget ya emang ngomong itu. Hahaha
Perlu diingat sekali lagi. Setiap bayi yang lahir itu punya hak dan kesempatan yang sama untuk hidup bahagia, tidak peduli apakah dia hasil dari planned pregnancy ataupun unplanned pregnancy. Jadi ketika muncul dua garis di testpack, saat itu juga orangtua sudah bertanggungjawab untuk mengusahakan yang terbaik.Walaupun untuk mencapai tahap ini tidak mudah. Kadang harus pake galau-galauan dan air mata dulu. Terutama kalo mengingat anak sebelumnya yang masih kecil.
Saya punya satu cerita dari murid les saya dulu. Sebut saja namanya Ani ya. hehehe
Ani salah satu contoh anak hasil unplanned pregnancy. Ibunya kebobolan setelah lahiran anak kedua. Waktu itu Ani kelas 6 SD dan kakaknya persis itu kelas 1 SMP. Kakaknya yang sulung udah kuliah. Ibunya denial, nggak terima kalo kesundulan. Ndilalah kakaknya Ani persis itu anaknya sakit-sakitan. Seolah-olah ibunya nyalahin Ani, gara-gara Ani lahir kakaknya jadi sakit-sakitan. Ini saya diceritain sama neneknya Ani. Jadi selama ini Ani dirawat dan tinggal sama neneknya, sedangkan ayah ibu dan kakak-kakaknya tinggal di rumah yang lain. Entahlah apa dia pernah merasakan dekapan ibunya atau nggak. Sedih banget T____T
Bahkan neneknya sampe bilang gini ke saya, "Pandongane nggih mbak mugi-mugi kulo panjang umur, paling mboten ngantos Ani saged mandiri. Nek mboten wonten kulo pripun mangke Ani (Doakan ya mbak semoga saya panjang umur, paling nggak sampe Ani bisa mandiri. Kalo nggak ada saya nanti Ani gimana)". Neneknya bilang dengan mata berkaca-kaca, hampir nangis.
Sedih bangeeet. Ini keluarga Ani tergolong keluarga yang berkecukupan loh. Nggak ada masalah materi. Ani jadi anak pendiem, nggak pedean, ngomong aja pelan banget. Kasian bener kasian banget. Secara materi dia tercukupi, tapi dia nggak dapet kasih sayang dari orangtuanya.
Jangan sampe ada Ani-Ani yang lain ya buuuk....
***
Sudah panjang ya ternyataa. Saya nulis ini pun udah mengendap lama di draft dan nggak selesai-selesai.
Akhir kata, urusan punya anak berapa itu mutlak urusan suami istri dan Sang Pencipta. Orang lain tidak perlu ikut campur.
Semoga bermanfaat!
-nuki-
Sudah panjang ya ternyataa. Saya nulis ini pun udah mengendap lama di draft dan nggak selesai-selesai.
Akhir kata, urusan punya anak berapa itu mutlak urusan suami istri dan Sang Pencipta. Orang lain tidak perlu ikut campur.
Semoga bermanfaat!
-nuki-